Maslahah Mursalah Dalam Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam

Oleh : SAEPUL AZIZ *)
“...Beribadah dimasa pandemi
Copid-19 seperti, mengganti Sholat Jum’at dengan sholat Dzuhur, meninggalkan
sholat Jum’at bagi Muslim yang terpapar pandemi , tidak melaksanakan Sholat
berjama’ah di Masjid, menutup sementara masjid, menggunakan masker dalam sholat,
menggunakan hand sanitizer, seperti dibulan Ramadhan sekarang dengan tidak
melakukan Buka puasa Bersama, tidak melakukan Sholat Taraweh dan Witir
Berjama’ah di Masjid cukup dengan keluarga di rumah. Tidak melakukan I’tikaf di
Masjid, teknis mengeluarkan Zakat Fitrah dan mal dengan mengoptimalkan
penjemputan oleh amilin, meniadakan pelaksanaan Idul fitri dan tradisi
berma’afan secara langsung bersentuhan, Menunda pelaksanaan Resepsi dan aqad
nikah, Pola pengurusan jenazah yang terpapar pandemi, membatasi Interaksi
sosial di Masa pandemi ( Work From Home, Tidak boleh Mudik, Kedermawanan,
memaksimalkan penggunaan Kas Masjid untuk Penanggulangan Covid-19, dll). Semuanya ini merupakan bentuk Ijtihad yang
dilakukan oleh Ulama dan Ulil Amri di Indonesia untuk upaya lahiriyah memutus
mata rantai penyebaran wabah yang akan menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya
dan kemadlaratan bagi orang lain (la dharar wa la dhiror) hal tersebut
memperioritaskan keselamatan diri dan keselamatan bersama (fiqih al-awlawiyat)...”
Pendahuluan
Opini yang ditulis kali ini,
adalah satu masalah yang menjadi tema utama dalam kajian Ushul al-Fiqih yaitu
kemaslahatan umat manusia yang terkandung di dalam syariat yang diturunkan
Allah Swt kepada mereka. Berangkat dari
kajian tersebut, lahirlah teori istinbat hukum yang mengacu kepada konsep
kemaslahatan, di antaranya ialah Mashlahah Mursalah. Di dalam Al-Quran dan hadis, baik secara
eksplisit maupun implisit, banyak sekali postulat (dalil) yang menjelaskan
bahwa tujuan Allah SWT menurunkan hukum syara' ke muka bumi adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat manusia dan menghindarkan mereka dari
mafsadat atau kerusakan. Kemaslahatan dimaksud bukan saja kemaslahatan duniawi,
tetapi juga kemaslahatan ukhrawi atau dalam istilah Abu Ishaq asy-Syathibi:
"li mashalih al-'ibad fi al-'ajil wa al-ajil" (untuk kemaslahatan
hamba Allah di dunia dan di akhirat).
Dengan demikian, Penulis
menganalisa apabila umat manusia tunduk dan melaksanakan syariat Allah Swt
dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Allah dan
Rasulullah SAW, maka kebahagiaan dan
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat akan terwujud. Meskipun kemaslahatan manusia merupakan
tujuan utama diturunkannya hukum syara' ke muka bumi, namun tidak semua maslahat
yang ada di tengah-tengah umat manusia sejalan dengan hukum syariat dan tidak
semua maslahat yang berkembang di masyarakat mempunyai dasar hukum yang akurat.
Diantaranya Imam Ghazali, menyebutkan bahwa maslahat yang tidak memiliki dasar
nas untuk diakui atau tidak diakui itu disebutnya Mashlahah al-gharibah.
Di samping perbedaan mengenai
pengertian Mashlahah Mursalah para ulama juga berbeda pendapat tentang
kehujjahannya sebagai dalil syara’. Sebagian mereka berpendapat, Maslahah
Mursalah dapat dijadikan dalil hukum, sementara sebagian lain berpendapat
tidakbisa dijadikan dalil hukum.
Imam Muhammad bin Idris
asy-Syafi'i (Imam Syafi’i), seorang tokoh besar ilmu Ushul Fikih dan salah
seorang imam mazhab terkenal di dunia Islam dengan jumlah pengikut yang sangat
banyak, sama sekali tidak menyinggung Mashalah Mursalah di dalam teori istinbat
hukumnya sehingga tidak jelas apakah ia menerima atau menolaknya. Disebabkan
karena Mashlahah Mursalah merupakan salah satu masalah hukum yang sering
dijumpai di tengah-tengah kehidupan umat manusia, maka timbul pertanyaan,
bagaimana Mashlahah Mursalah dan kedudukannya dalam sumber hukum islam ?
Ringkasan hasil kajian penulis
berikut ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. mudah-mudahan
bermanfa’at.
1. Apa itu Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah menurut bahasa
terdiri dari dua term kata, yaitu maslāhah dan mursalah. Term pertama, Kata maslāhah berasal dari
kata kerja bahasa Arab (صَلَحَ- يَصْلُحُ) menjadi (صُلْحًا) atau (مَصْلَحَةً)
yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Kata maslahah kadang-kadang
disebut juga dengan (اَلاِسْتِصْلاَحْ) yang artinya mencari yang baik (طَلَبُ الاِصْلاَحْ) Term kedua, kata mursālah adalah isim maf’ul
dari fi’il madhi dalam bentuk tsulasi, yaitu (رَسَلَ), dengan penambahan huruf
“alif” dipangkalnya, sehingga menjadi (اَرْسَلَ). Secara etimologis artinya
terlepas, atau dalam arti (مُطْلَقْ) (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas”
disini bila dihubungkan dengan kata maslahah maksudnya adalah “terlepas atau
bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya
dilakukan”. Perpaduan dua term kata di
atas menjadi “Maslahah Mursalah " yang berarti prinsip kemaslahatan yang
dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu
perbuatan yang mengandung nilai maslahat atau bermanfaat dan menolak atau
mencegah mafsadat ( جلب المصالح ودرء
المفاسد ).
Ada beberapa rumusan definisi
yang berbeda tentang Maslahah Mursalah ini, namun masing-masing memiliki
kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Di antara definisi tersebut:
1. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfā merumuskan Maslahah
Mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنْ الشَّرْعِ
بِالْبُطْلاَنِ وَلاَ بِاْلاِعْتِبَاِر نَصٌّ مُعَيَّنٌ
Artinya :
“Apa-apa (maslahah) yang tidak
ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya
dan tidak ada yang memperhatikannya.”
2. Asy-Syaukani dalam kitab Irsyād al-Fuhūl yang memberikan
defenisi:
اَلمُنَاسِبُ الَّذِىْ لاَيَعْلَمُ
اَنَّ الشَاِرعُ اَلْغَاهُ اَوِ اعْتَبَرُهُ
Artinya :
“ Maslahah yang tidak diketahui
apakah syari’ menolaknya atau memperhitungkannya.”
3. Ibnu Qudaima dari ulama Hambali memberi rumusan:
مَا لَمْ يَشْهَدْ لَهُ اِبْطَالٌ وَلاَ
اِعْتِبَارٌ مُعَيَّنٌ
Artinya :
“ Maslahat yang tidak ada bukti
petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memperhatikannya.”
4. Yusuf Hamid al-‘Alim memberikan rumusan:
مَالَمْ يَشْهَدِ الشَّرْعُ لاَ لِبُطْلاَ
نِهَا وَلاَ لاِعْتِبَارِهَا
Artinya :
“ Sesuatu yang tidak ada petunjuk
syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memperhatikannya.”
5. Abdul Wahab al-Khallaf memberi rumusan berikut:
اِنَّهَا مَصْلَحَةٌ لَمْ يَرِدْ عَنِ
الشَّارِعِ دَلِيْلٌ لاِعْتِبَارِهَا اَوْ لاِلْغَاءِهَا
Artinya :
“ Maslahahal-Mursalah adalah
mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau
menolaknya.”
6. Muhammad Abu Zahra memberi defenisi yang hampir sama
dengan rumusan Jalal al-Din di atas yaitu:
اَلْمَصَالِحُ الْمُلاَءِمَةُ لِمَقَاصِد
الشَّارِعِ وَلاَ يَشْهَدُ لَهَا اَصْلٌ خَاصٌّ بِاْلاِعْتِبَارِ اَوْ بِالْغَاءِ
Artinya :
“ Maslahat yang selaras dengan
tujuan syariat Islam dan petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pembuktian
atau penolakannya.”
7. Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syatibi dalam
kitab al-I’tishām mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah suatu maslahat yang
sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi untuk
menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dhārurīyah (primer) maupun
hajjīyah (sekunder).
Dari beberapa rumusan defenisi di
atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari Maslahah Mursalah sebagai
produk hukum Islam, sebagai berikut:
a. Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal
dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi
manusia;
b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum;
c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan
tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya,
juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.
2. Kedudukan Mashlahah Mursalah dan kehujjahannya
Tidak dapat disangkal bahwa di
kalangan mazhab ushul al-Fiqih memang terdapat perbedaan pendapat tentang
kedudukan Maslahah Mursalah dan kehujjahannya dalam hukum Islam baik yang
menerima maupun menolak. Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki adalah
kelompok yang secara jelas menggunakan Maslahah Mursalah sebagai metode
ijtihad. Imam Muhammad Abu Zahra bahkan menyebutkan bahwa Imam Malik dan
pengikutnya merupakan mazhab yang mencanangkan dan menyuarakan Maslahah
Mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah syar’iyyah.
Maslahah Mursalah juga digunakan
dikalangan non Maliki antara lain ulama Hanabilah. Menurut mereka Maslahah
Mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash rinci
seperti yang berlaku dalam qiyas.
Bahkan Imam Syatibi mengatakan
bahwa keberadaan dan kualitas Maslahah Mursalah itu bersifat qat’i, sekalipun
dalam penerapannya bersifat zhanni (relatif).
Adapun pandangan ulama Hanafi
terhadap Maslahah Mursalah terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Hamidi
banyak ulama Hanafi yang tidak mengamalkannya, namun menurut Ibnu Qudaimah,
sebagian ulama Hanafi menggunakan Maslahah Mursalah, tampaknya pendapat ini
lebih tepat karena kedekatan metode ini dengan istihsān di kalangan ulama
Hanafiah.
Begitu pula pada pandangan ulama
Syafi’iyah ada perbedaan pendapat, Al-Amidi dan Ibnu al-Hajib dalam kitabnya
al-Bidākhsyi, mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah tidak menggunakan Maslahah
Mursalah, karena imam Syafi’i sendiri tidak pernah menyinggung metode ini dalam
kitabnya al-Risālah. Namun ulama lain seperti al-Ghazali menukilkan bahwa imam
Syafi’i pernah menggunakan Maslahah Mursalah dalam berhujjah. Akan tetapi, Imam
Syafi’i memasukkannya dalam qiyas.
Adapun kalangan ulama yang
menolak penggunaan Maslahah Mursalah adalah al-Zahiriyah, Bahkan dikabarkan bahwa
mazhab Zahiriyah merupakan mazhab penentang utama atas kehujjahan Maslahah
Mursalah.
Ulama Syi’ah dan sebagian ulama
kalam Mu’tazilah, begitu pula Qādhi al-Baidhāqi juga menolak penggunaan
Maslahah Mursalah dalam berijtihad. Berikut ini akan dijelaskan perbedaan
pendapat antara kalangan mazhab ushul yang menerima dan yang menolak serta
argumentasi mereka masing-masing.
1. Kelompok pertama mengatakan bahwa Maslahah Mursalah
adalah merupakan salah satu dari sumber hukum dan sekaligus hujjah syar’iyah. Adapun
argumentasi kelompok ini adalah:
a. Adanya taqrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Mu’az bin
Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat
Alquran dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan
ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap
maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan
nash.
b. Adanya amaliah praktek yang begitu meluas di kalangan
sahabat Nabi tentang penggunaan Maslahah Mursalah sebagai suatu keadaan yang
sudah diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Misalnya,
para sahabat telah menghimpun Alquran dalam satu mushaf, dan ini dilakukan
karena khawatir Alquran bisa hilang. Hal ini tidak ada pada masa Nabi dan tidak
pula ada larangannya. Pengumpulan Alquran dalam satu mushaf ini, semata-mata
demi kemaslahatan. Dan dalam prakteknya para sahabat telah menggunakan
mashlahah mursalah yang sama sekali tidak ditemukan satu dalil pun yang
melarang atau menyuruhnya. Sesungguhnya para sahabat telah menggunakan
mashlahah mursalah sesuai dengan tujuan syara’, maka harus diamalkan sesuai
dengan tujuan itu. Jika mengenyampingkan berarti telah mengenyampingkan tujuan
syariat dan hal itu dianggap batal dan tidak dapat diterima. Oleh karena itu,
berpegang kepada mashlahat adalah suatu kewajiban.
c. Suatu maslahat bila nyata kemaslahatannya dan telah
sejalan dengan maksud pembuat hukum (Syari’), maka menggunakan maslahat
tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus
yang mendukungnya. Sebaiknya apabila tidak digunakan untuk menetapkan suatu
kemaslahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang
dimaksud oleh syar’i. Karena itu dalam menggunakan Maslahah Mursalah itu
sendiri tidak keluar dari prinsip-prinsip syara’.
d. Sesungguhnya tujuan pensyariatan hukum adalah untuk
merealisir kemaslahatan dan menolak timbulnya kerusakan dalam kehidupan
manusia. Dan tidak dapat diragukan lagi bahwa kemaslahatan itu terus berkembang
dengan perkembangan zaman dan begitu pula kemaslahatan itu akan terus berubah
dengan perubahan situasi dan lingkungan. Jika kemaslahatan itu tidak dicermati
dan direspon dengan ketetapan yang sesuai kecuali hanya terpaku kepada dalil,
niscaya kemaslahatan itu akan hilang dari kehidupan manusia.
2. Kelompok kedua berpendapat bahwa Maslahah Mursalah tidak
dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Adapun argumentasi mereka
adalah:
a. Bila suatu maslahat ada petunjuk syar’i yang
membenarkannya, maka ia telah termasuk bagian dari qiyas. Seandainya tidak ada
petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai
suatu maslahat. Mengamalkan sesuatu yang di luar petunjuk syara’ berarti
mengakui akan kurang lengkapnya Alquran dan sunnah Nabi.
b. Beramal dengan maslahat yang tidak mendapat pengakuan
tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan
pada sekehendak hati dan menurut hawa nafsu. Keberatan al-Ghazali untuk
menggunakan Maslahah Mursalah sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum
secara seenaknya.
c. Menggunakan maslahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada
nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi
prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu “tidak boleh merusak, juga tidak ada
yang dirusak”.
d. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan maslahah yang
tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk
berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat
berlakunya hukum syara’, juga karena berlainan antara seseorang dengan orang
lain. Dalam keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum.
Bila diperhatikan perbedaan
pendapat dikalangan para ulama dan argumennya masing-masing, ulama yang
menerima dan menolak metode Maslahah Mursalah dalam ijtihad, tampaknya tidak
ada perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima, ternyata tidak
menerimanya secara mutlak bahkan menetapkan beberapa persyaratan yang berat.
Begitu pula kelompok yang menolak ternyata dasar penolakannya adalah karena
kekhawatiran dari kemungkinan tergelincir pada kesalahan jika samapai
menetapkan hukum dengan sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Seandainya
kekhawatiran ini dapat dihindarkan, umpanya telah ditemukan garis kesamaan
dengan prinsip asal, mereka juga akan menggunakan Maslahah Mursalah dalam
berijtihad, sebagaimana Imam Syafi’i sendiri melakukannya.
Oleh karena itu, Maslahah
Mursalah merupakan bagian dari syariat yang tidak boleh dikesampingkan.
Meskipun ia tidak disebutkan dalam nash secara tekstual, tapi secara
substansial ia dibutuhkan manusia, lebih-lebih yang bersentuhan langsung dengan
kebutuhan pokok (Dzaruriyyah) mereka. Oleh karena itu, Zaky al-Din Sya’ban
menyebutkan bahwa maslāhah mursālah merupakan salah satu dasar tasyri’ yang
penting dan memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli
mampu mencermatinya secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syariat.
3. Bentuk-bentuk Maslahah Mursalah
Adapun Bentuk-bentuk Maslahah
Mursalah menurut Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A, dibagi kepada 3, yaitu :
1. Maslahah al-Mu'tabarah (Maslahah yang terdapat kesaksian
syara' dalam mengakui keberadaannya)
Al-Maslahah bentuk pertama ini
menjelma menjadi landasan dalam Qiyas, karena ia sama dengan al-munasib ('illah
yang merupakan al-maslahah) dalam pembahasan qiyas. Jumhur ulama sepakat
menyatakan, al-Maslahah ini merupakan landasan hukum. Contohnya Seperti dalam
kasus peminum khamer, hukuman atas orang yang meminum minuman keras (arak dan
semisalnya) dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh,
disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
2. Maslahah al-Mulghah (Maslahah yang terdapat kesaksian
syara' yang membatalkannya)
Maslahah bentuk kedua ini adalah
bathil, dalam arti tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum karena ia
bertentangan dengan nash. Contohnya, Syara’ menetukan bahwa orang yang
melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadan dikenakan hukuman dengan
memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60
orang fakir miskin (H.R. Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan kasus ini al-Laits
Ibnu Sa’ad langsung menetapkan dengan hukuman berupa puasa dua bulan
berturut-turut bagi seorang penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang
hari bulan Ramadlan. Dalam kasus ini, para ulama memandang putusan hukum yang
diberikan oleh al-Laits tadi bertentangan dengan Hadits Rasullah di atas,
karena bentuk-bentuk hukum itu menurut mereka harus diterapkan secara
berurutan. Oleh sebab itu ulama ushul al-fiqh memandang mendahulukan puasa dua
bulan berturut-turut daripada memerdekakan seorang budak dengan dalil
kemaslahatan hukum, merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak
syarak, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi batal. Kemaslahatan
semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut Maslahah al Mulghah dan tidak
bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum.
3. Maslahah yang tidak terdapat kesaksian syara'
Maslahah bentuk ketiga ini
kemudian dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Maslahah Al-Gharibah, yaitu maslahah yang sama sekali
tidak terdapat kesaksian syara' terhadapnya, baik yang mengakui maupun yang
menolaknya dalam bentuk macam atau jenis tindakan syara'.
b. Maslahah Al-Mula'imah, yaitu maslahah yang meskipun tidak
terdapat nash tertentu yang mengakuinya, tetapi ia sesuai dengan tujuan syara'
dalam lingkup umum.
4. Syarat-Syarat menggunakan Maslahah Mursalah.
Dalam menggunakan Maslahah
Mursalah sebagai hujjah, ulama bersikap sangat hati-hati sehingga tidak
mengakibatkan pembentukan syariat, berdasarkan nafsu dan kepentingan
terselubung. Berdasarkan hal itu, ulama menyusun syarat-syarat Maslahah
Mursalah yang dipakai sebagai dasar pembentukan hukum. Syarat-syaratnya ada
yaitu:
1. Maslahat yang dimaksud adalah maslahat yang sebenarnya
bukan hanya dugaan semata. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan pembentukan
hukum tentang masalah yang dapat memberi kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Jika maslahat itu berdasarkan dugaan semata maka pembentukan hukum itu tidak
akan mendatangkan maslahat.Contoh dalam persoalan larangan bagi suami untuk
menalak istrinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam
semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini tidak mengandung
maslahat, bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan
masyarakat. Hubungan suami isteri ditegakkan atas dasar suatu paksaan
undang-undang, bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang dan saling mencintai.
2. Maslahat itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan.
Maksudnya ialah bahwa dalam kaitannya dengan pembentukan hukum atas suatu
kejadian dapat melahirkan manfaat bagi kebanyakan orang tidak hanya
mendatangkan manfaat bagi satu orang atau beberapa orang saja. Imam al-Ghazali
memberi contoh orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari
kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka, maka orang kafir
akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila
kaum muslimin memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir maka
tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir
tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara
melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
3. Maslahat itu tidak boleh bertentangan dengan dalil syara’
yang telah ada, baik dalam bentuk nash, Alquran dan sunnah, maupun ijma’ dan
qiyas.
4. Maslahah Mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang
memerlukan, seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat
akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk
menghindarkan umat dari kesulitan.
Imam al-Ghazali juga memberikan
beberapa syarat terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam
mengistinbathkan hukum, yaitu:
a. Maslahat itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan
syara’.
b. Maslahat itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan
nash syara’.
c. Maslahah itu termasuk dalam kategori maslahat yang
dharuriyah, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang
banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
5. Obyek Maslahah Mursalah
Ulama yang menggunakan Maslahah
Mursalah menetapkan batas wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah
diluar wilayah ibadah, seperti muamalat dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam
arti khusus) sama sekali Maslahah Mursalah tidak dapat dipergunakan secara
keseluruhannya. Alasannya karena maslahat itu didasarkan pada pertimbangan akal
tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu
untuk masalah ibadah.
Segala bentuk perbuatan ibadah
bersifat ta’abbudi dan tawqifih, artinya kita hanya mengikuti secara apa adanya
sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash dan akal sama sekali tidak dapat
mengetahui kenapa demikian. Umpanya mengenai shalat dzuhur empat rakaat dan
dilakukan sesudah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu
baik atau buruk.
Di luar wilayah ibadah, meskipun
diantaranya ada yang tidak dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum
bersifat rasional dan oleh karenanya dapat dinilai baik atau buruknya oleh
akal. Contohnya minum khamar itu adalah buruk karena merusak akal. Penetapan
sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari
kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.
Secara ringkas, dapat dikatakan
bahwa maslāhah mursālah itu difokuskan terhadap lapangan masalah yang tidak
terdapat dalam nash, baik dalam Alquran dan sunnah yang menjelaskan hukum-
hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibār. Juga difokuskan pada hal- hal
yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian
tersebut.
6. Contoh Maslahah Mursalah
Adapun beberapa contoh masalah
yang menggunakan ketentuan hukum berdasarkan maslahat yaitu antara lain:
1. Sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf alasannya
semata- mata karena maslahat, yaitu menjaga Al-qur’an dari kepunahan atau
kehilangan kemutawatiranya karena meninggalnya sejumlah besar penghapal
Al-quran dari generasi sahabat.
2. Khulafau ar-Rasyidin menetapkan keharusan menanggung
ganti rugi kepada pada para tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya
kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya
mereka tidak dibebani tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat
ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain
yang berada dibawah tanggungjawabnya.
3. Umar bin Khattab RA sengaja menumpahkan susu yang
dicampur air guna memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu
dengan air. Sikap Umar itu tergolong dalam kategori maslahah, agar mereka tidak
mengulangi perbuatannya lagi.
4. Diperbolehkannya mengangkat seorang penguasa mafdhūl
(bukan yang terbaik). Penolakan akan bai’at dikhawatirkan berakibat timbulnya
kemudharatan, kerusakan, kegoncangan serta kekosongan pemerintah.
5. Apabila uang kas negara mengalami defisit, dan tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan pembiayaan tentara, maka bagi
pemerintah diperbolehkan menarik pungutan wajib kepada orang- orang kaya untuk
menutupi kebutuhan mereka yang mendesak, sampai baitul mal mendapatkan masukan
uang atau kebutuhan mereka tercukupi.
6. Apabila keadaan serba haram menggejala dan melanda
diseluruh dunia atau pada suatu daerah tertentu yang penduduknya mengalami
hambatan untuk pindah kedaerah lain, dan mereka sulit mendapat lapangan
pekerjaan yang baik (halal) dan terdesak oleh kebutuhan yang melebihi dari sekedar
mempertahankan hidup, maka bagi mereka diperbolehkan secara terpaksa untuk
memasuki dan menerima lapangan pekerjaan yang buruk demi menolak darurat dan
menutupi hajat (kebutuhan).
7. Pencatatan berbagai aktivitas transaksi di
lembaga-lembaga pemerintahan, perkantoran dan Pengadilan menjadi alasan atau
ilat hukum terwujudnya kemaslahatan memelihara dan menjamin hak-hak terutama
pada masa modern ini yang telah muncul berbagai masalah muamalah yang tidak
jarang menimbulkan kecurangan dan kurangnya kepercayaan, misalnya, keharusan
pencatatan akad nikah (Buku Nikah) dan perceraian di laksanakan di Pengadilan
Agama dibuktikan dengan Akta Cerai.
8. Tuntunan Beribadah dimasa pandemi Copid-19 seperti,
mengganti Sholat Jum’at dengan sholat Dzuhur, meninggalkan sholat Jum’at bagi
Muslim yang terpapar pandemi , tidak melaksanakan Sholat berjama’ah di Masjid,
menutup sementara masjid, menggunakan masker dalam sholat, menggunakan hand
sanitizer, seperti dibulan Ramadhan sekarang dengan tidak melakukan Buka puasa
Bersama, tidak melakukan Sholat Taraweh dan Witir Berjama’ah di Masjid cukup
dengan keluarga di rumah. Tidak melakukan I’tikaf di Masjid, teknis
mengeluarkan Zakat Fitrah dan mal dengan mengoptimalkan penjemputan oleh
amilin, meniadakan pelaksanaan Idul fitri dan tradisi berma’afan secara
langsung bersentuhan, Menunda pelaksanaan Resepsi dan aqad nikah, Pola
pengurusan jenazah yang terpapar pandemi, membatasi Interaksi sosial di Masa
pandemi ( Work From Home, Tidak boleh Mudik, Kedermawanan, memaksimalkan penggunaan
Kas Masjid untuk Penanggulangan Covid-19, dll). Semuanya ini merupakan bentuk Ijtihad yang
dilakukan oleh Ulama dan Ulil Amri di Indonesia untuk upaya lahiriyah memutus
mata rantai penyebaran wabah yang akan menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya
dan kemadlaratan bagi orang lain (la dharar wa la dhiror) artinya hal tersebut
memperioritaskan keselamatan diri dan keselamatan bersama (fiqih al-awlawiyat).
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penulis
menyimpulkan tentang hakikat dari Maslahah Mursalah sebagai produk hukum Islam,
sebagai berikut:
1. Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal
dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi
manusia, Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum, Apa yang baik menurut akal dan selaras pula
dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang
menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.
2. Maslahah Mursalah merupakan bagian dari syariat yang
tidak boleh dikesampingkan. Meskipun ia tidak disebutkan dalam nash secara
tekstual, tapi secara substansial ia dibutuhkan manusia, lebih-lebih yang
bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok mereka. Oleh karena itu, maslāhah
mursālah merupakan salah satu dasar tasyri’ yang penting dan memungkinkan untuk
melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli mampu mencermatinya secara tajam
dalam kaitannya dengan ilmu syariat. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa
maslāhah mursālah itu difokuskan terhadap lapangan masalah yang tidak terdapat
dalam nash, baik dalam Alquran dan sunnah yang menjelaskan hukum- hukum yang
ada penguatnya melalui suatu i’tibār. Juga difokuskan pada hal- hal yang tidak
didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
3. contoh masalah yang menggunakan ketentuan hukum
berdasarkan maslahat yaitu antara lain, Pencatatan berbagai aktivitas transaksi
di lembaga-lembaga pemerintahan, perkantoran dan Pengadilan menjadi alasan atau
ilat hukum terwujudnya kemaslahatan memelihara dan menjamin hak-hak terutama
pada masa modern ini yang telah muncul berbagai masalah muamalah yang tidak
jarang menimbulkan kecurangan dan kurangnya kepercayaan, misalnya, keharusan
pencatatan akad nikah harus mempunyai Buku Nikah dan perceraian di laksanakan
di Pengadilan Agama harus dibuktikan dengan Akta Cerai dan juga Tuntunan
Beribadah dimasa pandemi Copid-19 sebgai upaya memprioritaskan keselamatan
pribadi dan bersama.
Mudahan mudahan opini ini dapat
menjadi pemahaman bagi pembaca dalam melaksanakan tugas kita sehari sebagai
ummat yang merindukan kebahagiaan baik kebahagian kita di dunia maupoun di
akhirat.
Waallahu “a’lam bi as-shawab
*) Penulis adalah Penghulu KUA
Cigalontang Kankemenag Kab. Tasikmalaya, Alumnus Pascasarjana S2 UIN SGD
Bandung Prodi Ahwal as-Syakhsyiyyah
(AS), Pembina Yayasan Al-Istiqomatul Huda Salawu Kab. Tasikmalaya Prov. Jawa
Barat.
Dibaca: 45.024 Kali

Maslahah Mursalah Dalam Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Rabu, 29 April 2020
Saksi Nikah : Pengesah Akad Nikah?
Kamis, 01 Agustus 2019
Sejarah
Kamis, 19 Desember 2019
Pejabat
Kamis, 19 Desember 2019
Struktur Organisasi
Kamis, 19 Desember 2019
Satuan Kerja
Kamis, 19 Desember 2019
Akhir Februari, Pelaksanaan Tes SKD CPNS Kemenag Jabar
Selasa, 28 Januari 2020
Unit Kerja
Kamis, 19 Desember 2019